
Perahu Katinting, merupakan perahu kecil berukuran panjang 4 – 5 m,dengan lebar badan prahu tidak lebih dari 70 cm dan berbahan kayu papan. Ini adalah pengalaman baru seumur hidup, menaiki katinting malam hari ditengah gerimis. Dan dilakukan tanpa sengaja berniat menaikinya, ini adalah keadaaan darurat ketika aku harus sampai ke Makasar sementara jalan udara dan darat terputus. Hanya berbekal senter, perahu melaju dengan kecepatan 40 km jam akibat dorongan mesin diesel 40 tenaga kuda, dan mengeluarkan bunyi raungan berat menyusuri pantai.
Dengan tas dipunggung dan tangan mencengkram badan perahu, fikiranku melayang jauh melintasi abad-abad silam. Kapan nenek moyang kita mulai naik perahu semacam ini ?. Tentu perahu semacam ini jauh lebih dahulu digunakan sebelum nenek moyang kita menemukan Phinisi, Kapal layar besar dan mengarungi lautan luas. Tidak mungkin perahu semacam ini melintasi samudra melawan ombak setinggi gunung. Ah memang manusia selau menemukan jalan hidupnya. Tidak ada garis batas jika engkau meinginkannya. Jangankan hanya pulau-pulau terpencil, daratan planet mars pun sudah diketahui struktur pembentuknya.
Dari atas prahu ini fikiranku masih diliputi rasa ingin tahu, pengetahuanku yang terbatas seperti perahu ditengah kabut, segala yang tampak disekelilingku hanya putih dan bayang-bayang samar air laut. Sunguh terasa ngeri juga membayangkan andai perahu kecil ini tersesat kedalam laut lepas dan terseret arus. Jangan menganggap terlalu berlebihan tentang ini, boleh jadi sebagian orang sudah sangat terbiasa bahkan lebih dari sekedar pengalaman naik perahu kecil. Tetapi pengalaman batin tetu tidak sama. Bagi Pilot pesawat terbang, atau pramugari pengalaman terbang adalah hal yang biasa, sampai ia tersadar bahwa pesawat yang ditumpangi hanya sebuah rongsokan besi tua yang dipaksa terbang . Bagi pengendara mobil yang melaju kencang adalah hal yang remeh ketika menginjak pedal gas kuat – kuat ketika berada dijalan Tol sampai suatu saat ia merasakan sendiri terbalik atau terjadi kecalakan. Memang kita kadang meremehkan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan. Sampai tersadar atau disadarkan oleh kecerobohan kita, seperti sekarang aku baru sadar kalau prahu telah merapat ke pantai yang salah...ah biasanya juga tidak apa – apa ...
Dengan tas dipunggung dan tangan mencengkram badan perahu, fikiranku melayang jauh melintasi abad-abad silam. Kapan nenek moyang kita mulai naik perahu semacam ini ?. Tentu perahu semacam ini jauh lebih dahulu digunakan sebelum nenek moyang kita menemukan Phinisi, Kapal layar besar dan mengarungi lautan luas. Tidak mungkin perahu semacam ini melintasi samudra melawan ombak setinggi gunung. Ah memang manusia selau menemukan jalan hidupnya. Tidak ada garis batas jika engkau meinginkannya. Jangankan hanya pulau-pulau terpencil, daratan planet mars pun sudah diketahui struktur pembentuknya.
Dari atas prahu ini fikiranku masih diliputi rasa ingin tahu, pengetahuanku yang terbatas seperti perahu ditengah kabut, segala yang tampak disekelilingku hanya putih dan bayang-bayang samar air laut. Sunguh terasa ngeri juga membayangkan andai perahu kecil ini tersesat kedalam laut lepas dan terseret arus. Jangan menganggap terlalu berlebihan tentang ini, boleh jadi sebagian orang sudah sangat terbiasa bahkan lebih dari sekedar pengalaman naik perahu kecil. Tetapi pengalaman batin tetu tidak sama. Bagi Pilot pesawat terbang, atau pramugari pengalaman terbang adalah hal yang biasa, sampai ia tersadar bahwa pesawat yang ditumpangi hanya sebuah rongsokan besi tua yang dipaksa terbang . Bagi pengendara mobil yang melaju kencang adalah hal yang remeh ketika menginjak pedal gas kuat – kuat ketika berada dijalan Tol sampai suatu saat ia merasakan sendiri terbalik atau terjadi kecalakan. Memang kita kadang meremehkan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan. Sampai tersadar atau disadarkan oleh kecerobohan kita, seperti sekarang aku baru sadar kalau prahu telah merapat ke pantai yang salah...ah biasanya juga tidak apa – apa ...
6:21 AM
wongblubuk
0 komentar :
Post a Comment